Langsung ke konten utama

Kesenian Lokalitas Minangkabau: Salawat Dulang


Jurnalismuda.com -- Kesenian merupakan salah satu bagian dari kebudayaan dan sarana yang dapat digunakan sebagai cara untuk menuangkan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Selain sebagai sarana untuk mengekspresikan rasa keindahan, kesenian juga berfungsi sebagai sarana untuk mempererat ikatan solidaritas dalam masyarakat. 

Salawat dulang adalah suatu kesenian tradisional Minangkabau yang bernuansa islami. Kesenian ini hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, Sumatera Barat. Dahulunya, kesenian ini sangatlah disukai dan digemari dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Hampir di semua pelosok desa, bahkan sampai ke kota masyarakat mengenal kesenian salawat dulang ini. Dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, kesenian salawat dulang disebut juga dengan salawaik talam (selawat talam)

Salawat dulang atau salawat talam merupakan salah satu sastra lisan  Minangkabau yang dimainkan melalui media dulang atau talam (benda yang terbuat dari kuningan dan biasa digunakan sebagai tempat hidangan makanan). Pada mulanya, kesenian salawat dulang berawal dari kisah perjalanan orang-orang Minangkabau, yang ahli dalam ilmu agama Islam yang belajar ke tanah Aceh. Di antaranya, adalah Syekh Burhanuddin. Kembalinya, Syekh Burhanuddin ke ranah Minang, ia memulai kariernya dengan berdakwah. Khususnya, ajaran yang disampaikan adalah ajaran tarekat yang cenderung berisi ajaran-ajaran tasawuf. Ketika Syekh Burhanuddin menetap di Pariaman, secara perlahan-lahan ajaran agama Islam mulai berkembang di daerah tersebut, hingga menyebar luas ke berbagai daerah di Minangkabau. Dalam menyampaikan dakwah, Syekh Burhanudin teringat pada suatu kesenian Aceh, di mana kesenian tersebut berfungsi sebagai sarana hiburan dan sekaligus sebagai sarana dalam menyampaikan dakwah agama Islam. Kemudian, Syekh Burhanuddin pun mempraktikkan kesenian itu dengan menggunakan dulang atau talam yang biasa digunakan oleh masyarakat Minangkabau sebagai alat untuk menghidangkan makanan. Sambil menabuh dulang, kesenian itu juga dimainkan dengan mendendangkan syair-syair Islam.

Konon, ada juga yang menyebutkan bahwa kesenian salawat dulang ini berasal dari Tanah Datar. Kesenian salawat dulang tersebut dikembangkan oleh kelompok tarekat syatariah sebagai salah satu bentuk untuk mendiskusikan ajaran yang mereka terima.

Pada masa sekarang ini, tidak semua daerah di Minangkabau yang masih menjaga dan melestarikan kesenian salawat dulang. Kesenian ini bisa dikatakan bahwa sudah mulai memudar dikalangan ranah Minang. Hal ini disebabkan oleh arus perkembangan globalisasi yang terus mengikis kebudayaan. Hanya di daerah-daerah tertentu saja yang masih membudidayakan kesenian ini, seperti, di Kenagarian Toboh Gadang, Kecamatan Sintuk Toboh Gadang, Kabupaten Padang Pariaman. 

Kesenian salawat dulang yang diadakan di Kenagarian Toboh Gadang, tepatnya di surau Toboh Olo merupakan kesenian yang memperingati acara Maulid Nabi Muhammad saw. Biasanya, acara salawat dulang ini diadakan setelah selesainya acara badikia dan acara ini merupakan acara lanjutan dari acara badikia. Acara salawat dulang berfungsi sebagai acara pembukaan sebelum diadakannya makan bajamba (makan bersama). 

Pertunjukan salawat dulang ini dipertontonkan di depan masyarakat setempat dan juga di depan para tamu undangan. Para pemain salawat dulang dibawakan oleh dua orang pemain laki-laki, satu orang sebagai penabur dulang atau talam dan satunya lagi sebagai pendendang syair. Syair tersebut dilantunkan dalam bahasa Minangkabau. Isi dari teks (syair) tersebut berisi tentang ajaran agama Islam yang mengandung nilai-nilai ketauhidan kepada Allah Swt. dan Nabi Muhammad saw., sebagaimana yang sudah ditarapkan dalam Alquran dan hadis rasul.

Penyajian salawat dulang yang diadakan di desa Toboh Gadang, bahwa pertunjukkan salawat dulang tidaklah menggunakan panggung sebagai tempat pertunjukan. Akan tetapi, pertunjukan tersebut dimainkan di depan jamba yang telah dihidangkan oleh masyarakat. Dalam penyajian salawat dulang, para pemain dulang duduk di atas kasur yang telah disediakan oleh panitia pelaksana. Kemudian, kasur tersebut dilampisi dengan kain kafan atau kain panjang serta di alas dengan menggunakan tikar anyaman yang telah disediakan, lalu diletakan bantal di atas kasur tersebut. 

Pada umumnya, waktu pelaksanaan salawat dulang dilakukan pada malam hari. Biasanya, dimulai pada pukul 21.00 WIB atau dimulai setelah bakda Isya dan kemudian diakhiri menjelang waktu subuh sekitar pukul 04.00 WIB. Namun, hal ini sangat berbeda, waktu pelaksanaan tersebut dimulai pada pukul 15:00 WIB dan berakhir pada pukul 17.00 WIB. 

Setelah berakhirnya acara salawat dulang, barulah kemudian dilanjutkan dengan acara makan bajamba. Acara makan bajamba ini sering juga disebut dengan makan barapak. Acara ini merupakan bentuk tradisi makan yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau dengan cara duduk bersama-sama dan makan pun secara bersama-sama. Dalam acara makan bajamba adapun etika-etika yang harus kita jaga. Pertama, bagi laki-laki etika dalam duduk haruslah baselo, sedangkan perempuan duduknya harus basimpuah. Kedua, kita tidak boleh mengambil makanan yang jauh dari kita, secukupnya ambil makanan yang ada di depan kita saja. Ketiga, kita tidak boleh mengambil makanan-makanan yang sudah tersusun rapi di atas dulang, makan-makan tersebut hanya boleh di makan oleh orang-orang tertentu saja, seperti, niniak mamak, alim ulama, dan para tamu undangan acara tersebut.

Jadi, salawat dulang ialah salah satu tradisi turun-murun yang ada di Minangkabau, yang mana tradisi kesenian ini diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Karena tradisi kesenian ini sudah mulai memudar di kalangan masyarakat Minangkabau. Kita sebagai generasi muda dan penerus tradisi tersebut, haruslah menjaga dan melestarikannya kembali. Jangan sampai kita biarkan kebudayaan kita sendiri hilang terkikis karena arus perkembangan globalisasi.***


Catatan: Artikel ini telah dimuat di Singgalang Minggu, 09 Agustus 2020.

Komentar

  1. Tradisi salawat dulang,menyebar secara merata d seluruh kab kota d sumbarkah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya berterima kasih sebelumnya kepada saudara yang telah menanggapi artikel saya. Untuk mengetahui perkembangan tradisi salawat dulang sebenarnya sudah hampir dikatakan merata penyebarannya di Sumbar, seperti wilayah Darek dan Pasisia. Kedua wilayah ini merupakan wilayah terbesar di Minangkabau. Kemudian, kita juga dapat menemukan tradisi ini di berbagai daerah Minangkabau seperti di Luhak Agam, Tanah Datar, Limapuluh Koto, dan rantau Pasisia. Namun, pada masa sekarang ini tidak semua wilayah Minangkabau yang masih menjaga dan melestarikan tradisi salawat dulang ini, hanya di daerah tertentu yang masih menjaga dan melestarikan tradisi ini, seperti di Kabupaten Padang Pariman.

      Hapus
    2. Mohon maaf sebelumnya, kalau ada kesalahan dan kekurangan dari artikel saya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

mengubah atau merubah?

Ranah Pesisir, Jurnalismuda — Mengubah atau merubah? Penulisan kedua kata ini sering kali terjadi keliru. Apalagi kamu yang masih baru dalam menulis, pastinya sering kebingungan dalam menggunakan kedua kata ini. Oleh karena itu, dalam artikel ini saya akan ulas mengenai kedua kata. Perhatikan contoh kalimat di bawah ini! (1)  Budi   mengubah susunan kalimat itu. (2)  Jaka tidak merubah susunan kalimat itu . Contoh kalimat (1) dan kalimat (2) di atas, jelas predikat tersebut memiliki penulisan   kata yang berbeda. Jadi, menurutmu, penulisan yang benar adalah mengubah atau merubah ? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), kata ubah dan rubah memiliki makna yang berbeda. Kata ubah merupakan kata kerja yang bermakna ‘tukar atau ganti’, sedangkan kata rubah adalah kata benda yang bermakna ‘binatang jenis anjing, bermoncong panjang, makanannya daging, ikan, dan sebagainya’. Secara morfologis, kata ubah memiliki kemampuan bergabung dengan beberapa afiks bahasa Indonesia. Sa