Jurnalismuda.com -- Sangsi dan sanksi merupakan dua kata yang berbeda ejaan dan maknanya, tetapi mempunyai pelafalan yang sama. Dalam istilah ilmu linguistik, kata ‘sangsi’ dan kata ‘sanksi’ merupakan bentuk yang homofon (kesamaan bunyi). Sangsi merupakan bentuk kata adjektiva yang mempunyai makna ‘bimbang’ atau ‘ragu-ragu’. Sedangkan, kata sanksi adalah kata nomina yang mempunyai makna ‘tanggungan (tindakan, hukuman, dan sebagainya) untuk memaksa seseorang menepati perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang (anggaran dasar, perkumpulan, dan sebagainya)’. Tanpa disadari, ternyata banyak masyarakat yang tidak dapat membedakan kedua kata tersebut, sehingga terjadi penggunaan yang tumpang-tindih. Ada sebagain masyarakat yang beranggapan, bahwa kedua kata ini merupakan kata yang sama. Dari segi bunyi kedua kata tersebut memeng mempunyai kesamaan atau kemiripan. Tetapi, pada ejaan dan maknanya sangat berbeda. Namun, yang menjadi masalah ialah banyak masyarakat tidak dapat membedakan makna dari kedua kata tersebut.
Penggunaan yang tumpang tindih disebabkan oleh kemiripan bunyi pada kedua kata tesebut. Para pengguna bahasa tidak dapat membedakan antara bunyi (g) dan bunyi (k). Perbedaaan huruf /g/ dan /k/ justru inilah yang menyebabkan terjadi pembedaan makna. Saat ini yang menjadi pokok permasalahan adalah banyak masyarakat yang beranggapan jika salah satu huruf diucapkan berbeda tidak menimbulkan pengaruh, tetapi dalam segi penulisan karya ilmiah wajib menggunakan ragam bahasa baku. Contohnya, pada kata izin dan ijin, bus dan bis, telur dan telor, serta kata unta dan onta.
Bedasarkan kata yang telah dibakukan secara resmi oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dalam penulisan kata izin, bus, telur, dan unta merupakan bentuk kata baku. Sedangkan, kata ijin, bis, telor dan onta. Dalam pelafalan, kata seperti ini tidak menjadi masalah untuk digunakan, baik bahasa baku maupun tidak baku. Sedangkan, dalam penulisan terutama dalam menulis karya ilmiah, bahasa yang digunakan harus sesuai dengan standardisasi dan kaidah penulisan yang berpedoman kepada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesaia (PUEBI) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Minimnya pengetahuan masyarakat inilah yang menyebabkan masyarakat tidak dapat membedakankan kedua kata tersebut. Kesalahan penggunaan kata dalam bahasa akan menjadi bahan cemooh dan ditertawakan bagi orang-orang yang memahami perbedaan dan makna pada kedua kata tersebut. Selain itu, penggunaan kata yang salah dapat mempengaruhi generasi berikutnya dalam mengembangkan bahasa yang baik. Para generasi akan menjadikan bentuk tersebut sebagai pedoman. Sehingga, kesalahan penggunaan bahasa akan meregenerasi sampai ke generasi berikutnya. Jadi, cerdasan dalam berbahasa itu sangatlah perlu diperhatikan oleh kaum tepelajar.
kurangnya kemampuan berbahasa dengan baik, tidak hanya kita lihat dalam kehidupan masyarakat. Namun, di lembaga pendidikan juga demikian. Perkembangan dari tahun-ketahunnya kemampuan dalam penggunaan bahasa bukanlah membaik, tetapi malah makin melemah. Apalagi, di zaman edan sekarang kelakuan generasi muda makin memuncak. Pengguna bahasa banyak menggunakan bahasa yang tidak sesuai dengan kaidah dan standardisasi penulisannya. Hal ini disebabkan karena maraknya perkembangan media elektronik yang mempengaruhi pikiran para remaja. Sehingga, bahasa-bahasa yang dikeluarkan oleh para remaja tidak sesuai dengan tata krama. kemudian, pengaruh tersebut juga muncul dari masuknya pengaruh budaya asing.
Jika, hal ini dibiarkan akan menimbulkan dampak yang fatal terhadap kelangsungan bangsa dan bahasa Indonesia. Untuk menegakan kembali bahasa yang telah bergeser. Justru itu, kita perlu untuk menanam kembali rasa bangga dalam diri terhadap bahasa persatuan. Oleh karena itu, kita harus menumbuhkan kesadaran yang tinggi untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan kaidah dan standardisasi penulisan. ***
Catatan: Opini ini telah dimuat di Singgalang Minggu.
Komentar
Posting Komentar