Langsung ke konten utama

Lokalitas Tradisi Menyirih

Jurnalismuda.com -- Tradisi merupakan adat istiadat yang diturunkan dari nenek moyang yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat; penilaian maupun anggapan bahwa cara-cara yang sudah ada adalah yang paling baik dan benar. Menurut Wjs Poewardaminto (1976) tradisi adalah segala aspek yang menyangkut kehidupan dalam masyarakat yang dilakukan secara terus menerus, seperti adat, budaya, kebiasaan, maupun kepercayaan. Sementara itu, Soerjono Soekamto (1990) juga berpendapat bahwa tradisi adalah kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dengan secara berulang-ulang.  

Minangkabau adalah salah satu bagian dari kebudayaan (alam) Melayu yang merupakan wilayah yang kaya dengan tradisi budaya. Tradisi budaya Minangkabau  tumbuh dan berkembang sebagai tradisi budaya masyarakat, yang berakar pada sistem kekerabatan matrilineal. Tradisi budaya juga sekaligus menjadi dinamika dan perkembangan dalam masyarakat Minangkabau. Salah satu bentuk tradisi atau kebiasaan masyarakat Minangkabau yang masih hidup sampai sekarang ini ialah kebiasaan menyirih.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menyirih adalah kegiatan makan (mengunyah) sirih. Secara istilah, menyirih merupakan proses meramu campuran dari beberapa bahan, seperti sirih, pinang, kapur, dan gambir yang kemudian dikunyah secara bersamaan. Sebenarnya kebiasaan menyirih ini telah ada sejak dahulu di wilayah Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Pasifik. Untuk mengetahui asal-usul dari kebiasaan menyirih belumlah diketahui secara pasti kapan itu dimulainya. Menurut catatan Anthony Reid (1985) dari catatan para musafir Cina, sebenarnya menyirih pinang sudah dikosumsi sejak dua abab sebelum Masehi. Sedangkan, menurut Kesaksian Antonio Pigafetta menyatakan bahwa pada tahun 1521 masyarakat Nusantara telah mengunyah sirih dan pinang. Sementara itu, menurut sejarah kuno kebiasaan menyirih itu dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat, baik dari anak-anak, wanita, maupun orang-orang yang sudah lanjut usia. 

Kebiasaan menyirih, khususnya dalam masyarakat Minangkabau. Dahulunya kebiasaan menyirih ini dapat kita jumpai dalam kehidupan bermasyarakat, baik di rumah maupun dalam pesta adat. Menyirih merupakan sebagai bentuk persahabatan atau kekerabatan yang disuguhkan kepada tamu ketika betemu dalam suatu acara, baik itu bersifat kekeluargaan maupun acara adat. Menyirih sering dijadikan sebagai sajian untuk pembukaan dari sebuah percakapan. Di samping itu, menyirih juga memiliki nilai dan simbol dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, yaitu sebagai mempererat tali persaudaraan dan sebagai bentuk dalam menghormati tamu.  

Masyarakat Minangkabau melakukan perilaku menyirih telah dilakukan sejak lama. Hal tersebut disebabkan adanya kepercayaan yang kuat yang diwariskan oleh para leluhurnya. Khasiat menyirih dipercayai banyak membawa dampak positif bagi kesehatan tubuh manusia, seperti menguatkan gigi, menghilangkan rasa sakit pada gigi, membuat tubuh menjadi lebih segar, dan menghilangkan rasa bau pada mulut. Kemudian khasiat menyirih juga dapat kita lihat dari orang-orang tua dahulu yang tidak pernah mengalami rasa sakit pada giginya, bukti tersebut juga diperkuat dengan melihat orang-orang yang sudah lanjut usia, yang masih memiliki gigi yang kuat dan sehat.

Tidak hanya itu, perilaku menyirih di Minangkabau juga dapat kita jumpai dalam pembuatan obat tradisional, seperti dalam pembuatan obat demam. Masyarakat Minangkabau lebih mempercayai bahwa daun sirih merupakan salah satu jenis pengobatan tradisional yang paling ampuh digunakan dalam menyembuhkan penyakit demam. Masyarakat Minangkabau menjadikan perilaku menyirih adalah sebagai langkah awal dalam pembuatan obat demam. Bahan-bahan yang digunakan juga sama dengan hal yang sebelumnya, seperti sirih, kapur, dan gambir yang kemudian dikunyah secara bersamaan. Dari proses pengunyahan tersebut, akan mengahasilkan air liur yang nantinya bewarna merah yang akan dijadikan sebagai bahan pengobatan demam.

Melihat arus perkembangan globalisasi saat ini, hal tersebut menyebabkan kebiasaan menyirih dalam kehidupan masyarakat Minangkabau mulai ditinggalkan. Pada masa sekarang ini, kebiasaan menyirih mungkin jarang sekali ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Tidak di semua wilayah Minangkabau yang masih melakukan kebiasaan menyirih, hanya di daerah-daerah tertentu saja yang masih melakukan kebiasaan menyirih. Begitu pun juga bagi pemakainya, yang sekarang ini hanya dilakukan oleh orang tua-tua saja. Pada umumnya, banyak generasi muda yang merasa malu dengan kebiasaan menyirih. Mereka beranggapan bahwa kebiasaan menyirih adalah kebiasaan yang sudah kuno dan dianggap ketinggalan zaman.

Kalau kita perhatikan generasi muda saat ini, mereka lebih cenderung menerima kebudayaan-kebudayaan asing yang tidak jelas sama sekali asal-usulnya. Hal inilah yang sering memicu para generasi muda untuk melupakan budayanya sendiri. Untuk itu, kita perlu meningkatkan kesadaran akan kepentingan tradisi dalam masyarakat. Kita juga perlu melakukan tindakan perencanaan untuk menyelamatkannya. Hal itu bisa kita lakukan dangan menanamkan kembali rasa bangga dan rasa cinta dalam diri terhadap warisan budaya. Agar kebiasaan yang diwariskan oleh para leluhur (nenek moyang) tetap terjaga dalam masyarakat Minangkabau. Selain itu, dengan adanya kedasaran yang tinggi dari masyarakat serta kepedulian untuk mempertahankan tradisi menyirih, maka sampai seterusnya kebiasaan menyirih akan selalu hidup di tengah kehidupan masyarakat Minangkabau.***


Catatan: Esai ini telah dimuat di Singgalang Minggu, 25 Oktober 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mengubah atau merubah?

Ranah Pesisir, Jurnalismuda — Mengubah atau merubah? Penulisan kedua kata ini sering kali terjadi keliru. Apalagi kamu yang masih baru dalam menulis, pastinya sering kebingungan dalam menggunakan kedua kata ini. Oleh karena itu, dalam artikel ini saya akan ulas mengenai kedua kata. Perhatikan contoh kalimat di bawah ini! (1)  Budi   mengubah susunan kalimat itu. (2)  Jaka tidak merubah susunan kalimat itu . Contoh kalimat (1) dan kalimat (2) di atas, jelas predikat tersebut memiliki penulisan   kata yang berbeda. Jadi, menurutmu, penulisan yang benar adalah mengubah atau merubah ? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), kata ubah dan rubah memiliki makna yang berbeda. Kata ubah merupakan kata kerja yang bermakna ‘tukar atau ganti’, sedangkan kata rubah adalah kata benda yang bermakna ‘binatang jenis anjing, bermoncong panjang, makanannya daging, ikan, dan sebagainya’. Secara morfologis, kata ubah memiliki kemampuan bergabung dengan beberapa afiks bahasa Indonesia. Sa