Langsung ke konten utama

Kesenian Randai di Minangkabau

Jurnalismuda.com -- Randai merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional Minangkabau, yang sudah lama hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Kesenian randai juga merupakan bentuk peninggalan warisan pusaka dari para leluhur Minangkabau, yang kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada generasinya. Sehingga, sampai sekarang ini kesenian randai masih dapat terjaga dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Dalam masyarakat Minangkabau bahwa kesenian randai sudah menjadi bagain dari kebudayaan sendiri. Artinya kesenian randai ini tidak dapat dipisahkan lagi dari kehidupan masyarakat Minangkabau. Bahkan kesenian ini sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.  

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), randai adalah garak tari dan silat yang dibawakan oleh sekelompok orang yang berkeliling membentuk lingkaran sambil bernyanyi dan bertepuk tangan, merupakan medium cerita “kaba”. Sedangkan, W.J.S. Poerdaminta (1976: 797) mendefenisikan randai menjadi beberapa pengertian. Pertama, randai atau merandai artinya di air, di rumpat, dan sebagainya. Kedua, randai dalam bahasa Minangkabau merupakan jenis tarian yang dilakukan oleh beberapa orang berderet melengkung, bernyanyi, dan bertepuk tangan. Sementara itu, saya mengutip dari jurnal Zulkifli (34) bahwa randai sebelumnya ialah nama seni tari Minangkabau yang garakan-gerakanya seperti pencak silat dan dimainkan oleh beberapa orang pemain yang formasinya berbentuk melingkar. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kesenian randai adalah kesenian yang terbentuk karena perpaduan antara seni gerak, seni suara, seni teater, dan seni musik.

Untuk mengetahui asal-usul terjadinya randai memang sering kali terjadi perbedaan pendapat antara satu dengan yang lain. Namun, perbedaan inilah yang akan nantinya menjadi data bukti dalam menentukan kesahihan atau kebenaran dari asal-usul randai tersebut. Menurut Chairul Harun, ia mengatakan bahwa randai berasal dari kata andai dan handai yang berarti berbicara dengan intim menggunakan ibarat, kias, pantun, serta pepatah dan petitih. Di samping itu, A. Kasim Achamd (et al,:38) juga menyebutkan bahwa randai itu berasal dari kata rantai, karena melihat formasi dalam randai yang berbentuk melingkar bagaikan rantai, sedangkan satu sama lain saling berhubungan. Sementara itu, berdasarkan hasil wawancara saya dengan Bapak Zainaris Khadi Ganti Marajo (3/11) yang merupakan seorang guru randai di Kenagarian Sungai Liku, Kec. Ranah Pesisir. Ia mengatakan asal nama randai terjadi karena perpaduan antara langkah, nyanyian, dan dialog. Tetapi, pada waktu itu kesenian randai belumlah dinamakan dengan randai, tetapi disebut dengan Gandai. Setelah berkembang menjadi banyak, barulah kesenian randai ini disebut dengan barandai, yang berarti bernyanyi. 

Berkembangnya randai dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, sebenarnya memiliki cerita sejarah yang panjang. Menurut penjelasan Chairul Harun dalam Pustaka Wisata Budaya kesenian randai Minangkabau, ia menjelaskan bahwa randai telah melewati perjalanan sejarah yang cukup panjang yang dimulai sejak abad ke-20, randai pada mulanya banyak berkembang di wilayah Darek (asli Minangkabau). Wilayah tersebut terletak di bagian tengah Sumatera Barat yang merupakan pusat perkembangan kebudayaan di Minangkabau. Sehubung dari penjelasan Bapak Zainaris Khadi Ganti Marajo, ia juga mengatakan sebenarnya randai sudah ada sejak tahun 1932, yang pertama kali terletak di Kenagarian Labuah Basilang, Kab. Limapuluh Kota, Payakumbuh. Akan tetapi, pada waktu itu kesenian randai belumlah berkembang karena masih didesak oleh perperangan dari penjajahan (portugis). Setelah melalui proses perkembangan yang cukup panjang, diperkirakan pada tahun 1965 barulah kesenian randai ini mulai berkembang, hingga kesenian randai ini sampai berkembang ke wilayah Pesisir selatan, yang pertama kali di Banda Sapuluah. Sementara itu, masuknya kesenian randai di Kec. Ranah Pesisir ada yang mengatakan bahwa randai tersebut dibawa langsung oleh orang-orang pendatang dari Darek. Kemudian, ada juga yang menyebutkan bahwa kesenian randai itu dibawa oleh ninik moyang orang pesisir sendiri, yang berasal dari Muara Labuh. Hal itu dapat dipercaya dari cerita-cerita yang ada dalam cerita randai, salah satunya adalah cerita Siti Rasana yang merupakan cerita dari Muaro labuah. 

Gerakan-gerakan dalam kesenian randai tidak hanya dilakukan sembarangan gerakan. Pada dasarnya gerakan dalam kesenian randai berasal dari gerakan silat (langkah tigo). Gerakan-gerakan tersebut dapat kita lihat saat pertunjukan randai itu berlangsung. Salah satu bentuk gerakan yang paling khas dalam kesenian randai adalah gerakan tepuk gelembong atau gerakan menepuk celana gelembong dengan kedua telapak tangan, sehingga menimbulkan bunyi yang unik didengar.

Sejak masa dahulu sampai masa sekarang ini, pertunjukan randai di Minangkabau pada umumnya sering disajikan pada malam hari. Pertujukan tersebut biasanya dilakukan setelah anak-anak pulang mengaji. Kira-kira pertujukan tersebut dimulai pada pukul 20.00 WIB dan kemudian diakhiri sekitar pukul 23.00-24.00 WIB. Tujuan diadakannya pada malam hari ialah sebagai sarana hiburan bagi anak-anak nagari. Selain itu, juga bertujuan untuk mencegah anak-anak agar tidak berkeluyuran pada malam hari.

Seperti kita ketahui bahwa permainan randai adalah permainan yang berbentuk melingkar. Permainan tersebut dimainkan sebanyak 12 orang, yang mana masing-masing pemain diwajibkan memakai baju longgar dan celana gelembong, serta penutup kepala. Untuk acara pembuka dalam pertunjukan randai ini biasanya dimeriahkan dengan penampilan tari pasambahan. Tari pasambahan ini adalah tarian yang disajikan kepada para penonton sebagai bentuk rasa penghormatan kepada khalayak yang hadir. 

Menurut Zainaris Khadi Ganti Marajo (3/11) adapun cerita-cerita kaba yang dinyanyikan dalam permainan randai, seperti cerita simarantang pendek; cerita simarantang; cerita rantak kudo atau endek macang; cerita rantang panjang dan cerita rantang pendek; serta ditutup dengan cerita simarantang tinggi. Cerita-cerita kaba tersebut merupakan cerita yang diangkat dari kisah-kisah kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat Minangkabau terdahulu, baik itu bercerita tentang perasian hidup maupun dalam mencari ilmu pengetahuan. 

Kalau saya perhatikan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau saat ini, kesenian randai memang jarang sekali ditemukan. Bahkan bisa dikatakan kesenian randai ini sudah mulai memudar. Mungkin hanya di daerah-daerah tertentu saja yang masih menjaga dan melestarikan kesenian randai ini. Memudarnya kesenian randai bisa saja disebabkan karena masyarakatnya itu sendiri, yang tidak lagi peka terhadap kebudayaannya, sehingga kebudayaan tersebut dibiarkan hilang karena perkembangan zaman. Maka dari itu, melalui tulisan kali ini. Saya mengajak kembali khususnya untuk generasi muda Minangkabau agar tetap selalu menjaga dan mempertahankan kebudayaan-kebudayaan lokal. Siapa lagi kalau bukan kita yang generasi untuk mewariskan kesenian-kesenian tersebut. Untuk itu, mari kita satukan tekad bersama agar terwujud kembali dalam satu visi yang sama yaitu menjaga adat dan kesenian budaya di dalam masyarakat Minangkabau. Insyaallah, dengan adanya kerja sama tersebut kesenian-kesenian yang ada akan selalu hidup di dalam masyarakat Mingkabau, terutama untuk kesenian randai ini.***


Keterangan: Artikel ini telah dimuat di koran Cakra Bangsa, November 2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mengubah atau merubah?

Ranah Pesisir, Jurnalismuda — Mengubah atau merubah? Penulisan kedua kata ini sering kali terjadi keliru. Apalagi kamu yang masih baru dalam menulis, pastinya sering kebingungan dalam menggunakan kedua kata ini. Oleh karena itu, dalam artikel ini saya akan ulas mengenai kedua kata. Perhatikan contoh kalimat di bawah ini! (1)  Budi   mengubah susunan kalimat itu. (2)  Jaka tidak merubah susunan kalimat itu . Contoh kalimat (1) dan kalimat (2) di atas, jelas predikat tersebut memiliki penulisan   kata yang berbeda. Jadi, menurutmu, penulisan yang benar adalah mengubah atau merubah ? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), kata ubah dan rubah memiliki makna yang berbeda. Kata ubah merupakan kata kerja yang bermakna ‘tukar atau ganti’, sedangkan kata rubah adalah kata benda yang bermakna ‘binatang jenis anjing, bermoncong panjang, makanannya daging, ikan, dan sebagainya’. Secara morfologis, kata ubah memiliki kemampuan bergabung dengan beberapa afiks bahasa Indonesia. Sa