1. Hakikat Kebudayaan dan Bahasa
Nababan (2010:163) mengelompokkan definisi kebudayaan atas empat golongan, yaitu (1) definisi yang melihat kebudayaan sebagai pengatur dan pengikat masyarakat; (2) definisi yang melihat kebudayaan sebagai hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar atau pendidikan (nurture); (3) definisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia; dan (4) definisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerja sama, kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat manusia.
Koentjaningrat (1992) mengatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia, dan tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia. Untuk memahami Koentjaningrat, menggunakan sesuatu yang disebut “kerangka kebudayaan”, yang memiliki dua aspek tolak yaitu (1) wujud kebudayaan, dan (2) isi kebudayaan. Yang disebut wujud kebudayaan itu berupa (a) wujud gagasan, (b) perilaku, (c) fisik dan benda. Sedangkan, isi kebudayaan terdiri dari tujuh unsur yaitu (1) bahasa, (2) sistem teknologi, (3) sistem mata pencarian hidup dan ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) sietem religi, dan (7) kesenian.
Menurut Koentjaningrat, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, atau dengan kata lain bahasa itu di bawah lingkup kebudayaan. Tetapi kata Koentjaningrat, pada zaman purba ketika manusia hanya terdiri kelompok-kelompok kecil yang tersebar di beberapa tempat saja di muka bumi ini, bahasa merupakan unsur utama yang mengandung semua unsur kebudayaan manusia yang lain.
2. Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Menurut Koentjaningrat bahwa bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Jadi hubungan antara bahasa dengan kebudyaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Di samping itu ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat atau sama tinggi.
Masinambouw (1985) menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah suatu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsung interaksinya itu. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi manusia, sedangkan kebahasaan merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana keberlangsungan sarana itu.
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yaitu: Pertama, ada yang mengatakan hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar, dua fenomena yang terikat erat. Jadi, pendapat ini mengatakan kebahasaan dan kebudayaan meruapakan dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat, sehingga tidak bisa dipisahkan. Kedua, yang menarik adalah dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yang kontroversial yaitu hipotesis Sapir. Hipotesis Sapir ini menyatakan perbedaan berfikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang Arab, akan melihat kenyataan secara berbeda dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sama dengan orang Jepang.
Silzer (1990) juga menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua fenomena yang terikat, bagaikan dua anak kembar siam, atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sistem yang lain berupa sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa , atau juga sebaliknya.
Kalau kita perhatikan bagaimana hubungan bahasa dengan kebudayaan, maka dapat diuraikan bahwa ternyata yang mempengaruhi perilaku berbahasa adalah kebudayaan. Badaya yang dimaksud dalam arti luas, termasuk sikap yang dimiliki oleh penutur.
3. Hubungan Bahasa dan Masyarakat
Dalam sosiolinguistik, bahasa tidak didekati atau dilihat sebagai bahasa, sebagaimana dilakukan oleh linguistikstruktural/umum, melainkan dilihat sebagai sarana interaksi di dalam masyarakat manusia. Karenanya, semua rumusan mengenai sosiolinguistik yang diberikan para pakar tidak akan terlepas dari persoalan hubungan bahasa dengan kegiatan/aspek-aspek kemasyarakatan.
Ada empat kemungkinan yang menggambarkan hubungan antara bahasa dengan masyarakat, yaitu:
(a) Struktur sosial akan mempengaruhi atau menentukan struktur perilaku linguistik; tingkatan usia, etnis, status sosial, jenis kelamin dan lain-lain.
(b) Struktur linguistik akan mempengaruhi struktur sosial (misalnya, hipotesis Whorf dan pernyataan Bernstein).
(c) Bahasa danmasyarakat akan saling mempengaruhi.
(d) Tidak ada hubungan antara keduanya, seperti teori Chomsky yang asosial. Akan tetapi, analisa yang seperti ini lemah sifatnya dan banyak kritik yang diajukan oleh para linguis sendiri.
Sebab itulah, hubungan antara bahasa dan faktor-faktor non linguistik amat kuat, yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti: dialek, idiolek, ragam bahasa (situasi); formal, informal, lateral, umur, kelompok-kelompok penuturnya; geng, register dan lain-lain. Dengan demikian, kajian sosiolinguistik yang memiliki karakter dan cara kerja yang seperti inilah yang dengan nyata membedakannya dengan kajian linguistik yang bercorak lain, misalnya, linguistik struktural oleh Noam Chomsky. Teori atau kajian tersebut menekankan bahwa pengetahuan linguistik hanya memfokuskan pada pengetahuan mengenai bahasa itu sendiri tanpa perlu mengkaji bahasa dalam pemakaiannya dengan menolak secara eksplisit adanya hubungan antara bahasa dengan masyarakat.
Daftar Pustaka
Agustina, Leoni, & Abdul Chaer. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Ahmad Mujib. 2009. "Hubungan Bahasa dan Kebudayaan (Perspektif Sosiolinguistik)." Vol. 8, No. 1, Juni 2009.
Komentar
Posting Komentar