Langsung ke konten utama

Kiat Menulis dan Ketehanan Budaya

Saya  menonton vidio seminar kebudayaan di Youtube. Vidio seminar itu merupakan seminar kebudayaan yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Budaya Sumatra Barat di Grand Ina Muara Padang. Saya mendapat vidio tersebut dari Bapak Firdaus Abie (Redaktur Rakyat Sumbar). Saya sangat berterima kasih dan mengapresiasi vidio tersebut. Menurut saya, vidio tersebut sangat bagus ditonton  oleh para pelajar tanah air, terutama bagi masyarakat Sumatra Barat karena banyak sekali pengetahuan penting yang dapat  diambil dari seminar yang disampaikan oleh Bapak Firdaus Abie. Beliau adalah selaku narasumber dalam seminar kebudayaan tersebut.

Tema seminar kebudayaan tersebut ialah “Tradisi Menulis dan Ketahanan Budaya”. Adapun tiga pertanyaan yang saya dengar dari penanya dalam seminar itu. Apa saja? Pertama, pertanyaan Bapak Rinaldi (ASN Pemko Padang) -- Bagaimana cara menulis yang tepat  dan kiat-kiat dalam memberikan motivasi kepada generasi muda, supaya lebih suka menulis dan menjadikannya sebagai suatu kebiasaan (budaya)?. Kedua, Yola Oksandra (pegiat kesenian di Sijunjung) -- Salah satu penyebab menurunnya kebiasaan menulis yaitu disebabkan oleh kurangnya motivator. Nah, apakah ada program lain dari bengkel-bengkel literasi yang memberikan motivasi kepada kegenerasi muda?. Ketiga, Novri Dinozola (Unand) -- Dalam menulis saya sering kali kehilangan ide atau gagasan. Nah, bagaimana cara bapak menghadapi hal demikian itu?

Menurut Abie, menulis sangat berkaitan erat dengan membaca. Artinya, kegiatan menulis dengan membaca merupakan dua kegiatan yang saling sehubung dan tidak bisa dilepaskan. Seorang tidak akan bisa menulis, jika tidak suka membaca. Lalu, apa saja yang harus dibaca? Pada dasarnya ada dua konteks yang dibaca, yaitu membaca yang tertulis dan membaca yang tersirat. Namun, ketika seseorang tidak mempunyai salah satu atau kedua bekal tersebut, maka tidak akan bisa menulis.

Kemudian dapat dihubungkan juga dengan soal ketakutan orang pada dunia kepenulisan bahwa tidak menjamin untuk masa depan. Kata siapa? Sebenarnya, hualah hualam saja dan dikembalikan pada rezeki kita masing-masing. Jika seandainya kepenulisan seorang dikatakan baik, tentu saja banyak orang yang membutuhkannya. 

Kalau membandingkan penulis pada masa dahulu dengan penulis sekarang ini sebenarnya masih seimbang. Hanya saja, yang membedakan penulis-penulis dahulu lebih banyak bercerita tentang nilai-nilai adat, nilai-nilai perjuangan, dan nilai-nilai budaya. Akan tetapi, mengapa nama penulis sekarang ini tidak sebuming dengan penulis pada masa lalu? Hal ini disebabkan karena faktor situasi.

Salah satu faktor yang mempengaruhi turunnya daya menulis adalah kurangnya motivator. Motivator adalah orang (perangsang) yang menyebabkan timbulnya motivasi pada orang lain untuk melaksanakan sesuatu; pendorong; pengerak (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi V). Dalam dunia menulis, sebenarnya motivator tidak dapat dipisahkan dari seorang penulis, begitu juga halnya pada membaca dan menulis tadi. Penulis sangat membutuhkan motivator. Sering kali diperhatikan bahwa banyak orang yang mau menulis disebabkan karena mendapatkan dorongan dari orang-orang tertentu. Dorangan itulah menjadi salah satu modal utama bagi penulis yang ingin berhasil untuk menuangkan buah pikirannya. Tanpa dorongan tersebut, hasilnya tidak akan memuaskan.

Setelah itu, persoalan yang sering dihadapi oleh para pelajar ketika menulis adalah tiba-tiba kehilangan ide atau pikirannya yang akan ditulis. Lalu, apa yang harus dilakukan? Sebenarnya, mudah saja. Masalah seperti itu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui teori dan melalui praktik. Secara teori mungkin dipaksa untuk mengejar gagasan tersebut. Namun, secara praktik hal tersebut tidak bisa dipaksakan. Lalu, bagaimana caranya? Yaitu dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat menemukan gagasan baru, seperti membaca atau menonton televisi. Jika telah menemukan gagasan baru, maka gagasan itulah yang akan ditulis.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa ketahanan budaya dapat dilakukan melalui kiat-kiat tertentu. Pertama, harus suka membaca terlebih dahulu, baik membaca yang tersirat maupun membaca yang tersurat. Meskipun ada keinginan untuk menulis, tetapi  jarang membaca maka tidak akan terwujud. Kedua, ketahanan budaya dalam menulis dapat diwujudkan jika kita membawakan aura budaya, maka secara otomatis terimplementasikan ke dalam tulisan yang ditulis. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

mengubah atau merubah?

Ranah Pesisir, Jurnalismuda — Mengubah atau merubah? Penulisan kedua kata ini sering kali terjadi keliru. Apalagi kamu yang masih baru dalam menulis, pastinya sering kebingungan dalam menggunakan kedua kata ini. Oleh karena itu, dalam artikel ini saya akan ulas mengenai kedua kata. Perhatikan contoh kalimat di bawah ini! (1)  Budi   mengubah susunan kalimat itu. (2)  Jaka tidak merubah susunan kalimat itu . Contoh kalimat (1) dan kalimat (2) di atas, jelas predikat tersebut memiliki penulisan   kata yang berbeda. Jadi, menurutmu, penulisan yang benar adalah mengubah atau merubah ? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), kata ubah dan rubah memiliki makna yang berbeda. Kata ubah merupakan kata kerja yang bermakna ‘tukar atau ganti’, sedangkan kata rubah adalah kata benda yang bermakna ‘binatang jenis anjing, bermoncong panjang, makanannya daging, ikan, dan sebagainya’. Secara morfologis, kata ubah memiliki kemampuan bergabung dengan beberapa afiks b...