Ranah Pesisir, Jurnalismuda — Setiap saya membaca tulisan. Saya sering kali memperhatikan kosakata yang digunakan penulis. Kadang, saya sering kali menemukan penulisan kata tidak baku. Hal ini menandakan bahwa masih ada ketidakseragaman penggunaan kata dalam bahasa Indonesia. Untuk itu, amatilah contoh kata berikut ini: shalat, istighfar, shubuh, hadist, istiqamah, dhuzur, adzan, ramadhan, dzikir, wudhu, dan fiqih. Padahal, penulisan kata yang benar sesuai dengan standardisasi penulisan bahasa Indonesia ialah salat, istigfar, subuh, hadis, istikamah, zuhur, azan, ramadan, zikir, wudu, dan fikih.
Kata shalat, istigfar, shubuh, hadist, dhuhur, adzan, ramadhan, dzikir, wudhu dan fiqih di atas, merupakan contoh kata tidak baku. Dikutip dari laman Kompas.com, kata tidak baku adalah ragam bahasa yang cara pengucapan atau penulisannya tidak memenuhi kaidah-kaidah standar bahasa. Dari pengertian ini dapat dijelaskan bahwa kata tidak baku tidak hanya salah dalam penulisan saja, tetapi juga diakibatkan karena pengucapan yang salah atau penyusunan suatu kalimat yang tidak tepat. Umumnya, kata tidak baku merupakan kata-kata yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Di samping adanya kata tidak baku, juga terdapat kata baku. Kata baku merupakan kebalikan dari kata tidak baku. Secara istilah, kata baku adalah kata yang digunakan sesuai dengan pedoman dan kaidah bahasa yang sudah ditentukan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2016), kata baku memiliki makna: 1) pokok, utama; 2) tolak ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan; standar. Kokasih dan Herman (2012: 83) mendefinisikan bahwa kata baku merupakan kata yang diucapkan atau ditulis oleh seseorang sesuai dengan kaidah atau pedoman yang dibakukan. Sementara itu, kata baku juga merupakan kata yang lazim digunakan pada situasi formal ataupun situasi resmi. Jadi, untuk menentukan baku tidaknya sebuah kata dapat dilihat dari segi lafal, ejaan, gramatikal, dan kenasionalan saat diucap atau ditulis (Chaer, 2011: 131).Menurut Alwi, dkk. dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (2000: 14—15 ), bahasa baku dalam bahasa Indonesia memiliki empat fungsi, yaitu tiga di antaranya bersifat pelambang atau simbolik, sedangkan satu lagi bersifat objektif. Lalu, apa saja fungsi lainnya? Pertama, bahasa baku berfungsi sebagai pemersatu. Kedua, bahasa baku berfungsi sebagai pemberi kekhasan. Ketiga, bahasa baku juga berfungsi sebagai pembawa kewibawaan, dan. Keempat, kata baku juga memiliki fungsi sebagai kerangka acuan.
Selanjutnya, bagaimana cara untuk membedakan kata baku dan kata tidak baku? Hal ini sangat mudah. Bahasa baku biasanya ditandai oleh stabilitas yang luwes dan intelektualisasi. Selain itu, untuk membedakannya dapat dianalisis pada ciri yang dimiliki. Ciri tersebut ialah: 1) Kata baku tidaklah dipengaruhi oleh bahasa setempat atau bahasa daerah; 2) Kata tidak baku juga tidak dipengaruhi oleh bahasa-bahasa asing; 3) Kata baku bukanlah ragam bahasa percakapan; 3) Dalam kata baku pemakaian imbuhan haruslah eksplisit, artinya tidak berbelit-belit sehingga orang dapat menangkap maksudnya dengan mudah; 4) Pemakaian yakni sesuai dengan konteks kalimat.
Sementara itu, kata tidak baku memiliki ciri kebalikan dari kata baku, yaitu: 1) Kata tidak baku umumnya digunakan dalam bahasa percakapan sehari-hari; 2) Cenderung dipengaruhi bahasa daerah atau bahasa asing; 3) Dipengaruhi oleh perkembangan masa; 4) Kata tidak baku cenderung bentuknya dapat berubah-ubah, dan; 5) Memiliki arti yang sama, meskipun terlihat berbeda dengan kata baku.
Demikian penjelasan singkat mengenai kata baku dan kata tidak baku dalam bahasa Indonesia. Saya harap tulisan ini dapat mengakhiri kesimpangsiuran yang terjadi dalam penulisan kata dan sekaligus pelafalan kata-kata asing dalam bahasa Indonesia. Semoga bermanfaat dan mencerahkan. Terima kasih. *
______________
Penulis
Yori Leo Saputra, mahasiswa S-1 Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Ia adalah penulis antologi puisi Tangis di Rantau dan Antologi 12 Cerita rakyat.
👍
BalasHapus