Ilustrasi: Yori Leo Saputra |
Seorang jemaah pernah bertanya kepada Mamah Dede terkait penyesalannya setelah kepergian suaminya. Dia menceritakan kronologisnya bahwa sebelumnya ia sudah diajak oleh suaminya pulang ke Aceh. Aceh merupakan tanah kelahiran suaminya. Namun, lantaran mengurus anak dan cucu di rumah (Jakarta), ia tidak ikut mendampingi suaminya pulang ke Aceh. Akhirnya, sang suami pergi sendiri ke Aceh. Singkat cerita, ketika di Aceh, suaminya meninggal dunia. Pada saat itu tidak seorang pun dari keluarganya yang mendampingi suaminya ketika meninggal di sana, kecuali keluarga ibunya.
Dari cerita ini, kita dapat merasakan bagaimana kesedihan yang dialami oleh sang istri. Tentu ini lebih pahit daripada memakan buah simalakama. Yang menjadi penyesalan adalah kenapa pada waktu itu istri tidak menuruti ajakan suaminya—dan lebih mementingkan anak daripada permintaan suami. Nah, dari peristiwa ini, apakah seorang istri berdosa atau tidak?
Dari perspektif saya, istri jangan terlalu menyalahkan diri atau menyesali diri, apalagi menyalahkan takdir yang sudah terjadi. Selain taat kepada suami, istri juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan mengurus anak-anaknya di rumah. Yang namanya takdir atau kematian, kita tidak tahu kapan datangnya. Mungkin hari ini kita dapat bersenang-senang dengan suami di rumah. Namun, esok, kita tidak tahu apakah suami masih bersama kita. Takdir (kematian) adalah ketentuan Allah dan hanya Allah yang tahu. Dalam firman Allah disebutkan bahwa “Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (Q.S. Al- ‘Ankabut ayat 57).
“....Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal,” (Q.S. Luqman ayat 34).
Tentu penyesalan yang dialami oleh sang istri tidak ada gunanya. Pernyesalan tersebut hanyalah sia-sia. Meskipun sang istri menangis darah kerena meratapi penyesalan, itu tidak akan dapat mengubah keadaan seperti semula. Jadi, bila suami telah meninggal hal yang dilakukan adalah bukan menyesali takdir yang sudah terjadi, melainkan banyaklah untuk memintak kepada Allah Swt. Dekatkan Allah itu. Doakan suami agar amal ibadahnya diterima oleh Allah Swt. dan segala dosanya diampuni, serta doakan juga suami agar diberikan tempat terbaik di sisi-Nya.
Selain mendoakan suami, istri juga memiliki kewajiban lain yang harus dipahami bila suaminya sudah meninggal. Sebagaimana dalam firman Allah berikut.
“Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menungguh empat bulan sepuluh hari. Kemudian, apabila telah sampai (akhir) idah mereka, maka tidak ada dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah ayat 234).
“….Sedangkan perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadi kemudahan baginya dalam urusannya.” (Q.S. At-Talaq ayat 4).
Selama masa idah, perempuan tidak dibolehkan menikah dengan laki-laki lain. Kemudian perempuan juga tidak dibolehkan untuk keluar rumah, kecuali dalam keadaan darurat. Selain itu, perempuan juga dianjurkan untuk menahan diri selama masa idah dari berhias dan memakai wangi-wangian; ihdad. [YLS].
bersambung...
Komentar
Posting Komentar